sumber gambar: kompasiana.com |
Siapa yang
tidak tahu korupsi, hampir setiap hari pemberitaan di media masa baik cetak
maupun elektronik memberitakannya. Mulai dari kasus megakorupsi Hambalang
sampai yang terakhir megakorupsi e-KTP. Hal itu baru kasus korupsi yang
berskala nasional dan melibatkan pejabat tinggi negara. Belum kasus korupsi
yang sering disisir oleh KPK dengan program andalannya, OTT (Operasi Tangkap
Tangan).
Namun
pertanyaannya adalah apakah korupsi hanya sebatas yang telah diberitakan di
atas? Masihkah kasus-kasus lain yang sama sekali belum terendus oleh pihak yang
berwenang? Jangan-jangan kasus yang belum tertangani lebih banyak daripada
kasus-kasus yang telah tertangani.
Alih-alih para
pelaku merasa bersalah, mereka justru melemparkan senyuman ke awak media. Toh
nantinya penjara dapat dibeli dengan uang hasil korupsinya. Masih ingat kan
penjara suka miskin yang berisi napi koruptor. Bukannya seperti penjara tetapi
lebih seperti hotel atau tempat penginapan.
Memang para intelektual
Indonesia sejak tahun-tahun terakhir ini mencoba untuk menggagas pendidikan
anti-korupsi. Dari gagasan tersebut diharapkan dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan praktek-praktek korupsi di negara tercinta ini. Namun yang
menjadi pertanyaan dapatkah upaya-upaya tersebut dapat berhasil.
Mengutip perkataan
Gus Dur beberapa tahun yang lalu di sebuah acara "karena tikus sudah menguasai
lumbung". Hal itu berarti siapapun yang masuk lumbung akan menjadi tikus
juga, atau mereka akan menjadi bulan-bulanan dari kawanan tikus tersebut.
Dengan menyiapkan generasi dari kecil pun rupanya mereka akan berubah pula.
Tidak
mengherankan, memasuki dunia perpolitikan tidaklah mudah jika tanpa modal yang
cukup. Sudah bukan barang asing lagi, mereka harus merogoh saku yang cukup
dalam untuk sekedar mencalonkan diri untuk menjadi anggota dewan, bupati,
gubernur sampai presiden. Bisa dimungkinkan gaji selama menjabat belum mencukupi untuk sekedar
mengembalikan modal awal.
Nahhh, pendidikan anti-korupsi paling baik dalam kondisi saat
ini adalah hukuman mati. Dengan hukuman mati bagi para pelaku korupsi dapat
menjadi pelajaran bagi para pejabat maupun pelaku lainnya. Mereka akan menarik
diri dari kebiasaan buruk praktek korupsi yang tak berkesudahan. Namun tentu
jika hal tersebut dijalankan dengan serius bukan hanya sebatas vonis yang masih
dapat dinego.
Praktek hukuman semacam itu juga pernah menjadi tradisi dalam
kerajaan Cina berabad-abad. Bukan tanpa alasan, praktek korupsi yang sudah bukan
barang baru lagi dalam peradaban kuno tersebut mengharuskan ketegasan dari
petinggi kerajaan. Bukan hanya dongen sejarah saja, sampai sekarang Cina (yang
sekarang menjadi sebuah negara terbesar di dunia) masih memberlakukannya.
Selain Cina, Korea pun menjadikan hukuman mati
sebagai solusi menekan praktek korupsi di negaranya. Tak tanggung-tanggung,
pemerintahan menyiapkan 1000 peti mati bagi pejabat yang coba-coba berani
melakukan korupsi. Bahkan jika dirinya sendiri yang menjadi salah satu dianara
merekapun, ia siap untuk memborong peti mati tersebut.
إرسال تعليق